Merawat Tradisi Lisan pada Idulfitri
Salah satu khas masyarakat muslim Jawa menjelang Hari Raya Idulfitri ialah menyiapkan berbagai hal untuk keperluan Hari Raya. Idulfitri di Jawa bahkan di Indonesia menjadi peristiwa yang penting. Disambut dalam rangka selebrasi teologis usai jutaan umat muslim menjalani ritualitas mitologi dan sosial.
Ada satu hal yang masih konsisten dan menjadi folklore di masyarakat Jawa saat Idulfitri yaitu “tradisi lisan”. Sebuah pesan kesaksian yang diwariskan dari nenek moyang secara turun-temurun. Menjadi kearifan lokal meski peradaban masyarakat mengalami pergeseran. Dalam konteks ilmu budaya, meminjam istilah Taylor (1965) tradisi lisan sebagai khazanah susastra yang memiliki esensi pesan profetik. Diwariskan penuh pesan damai, doa, dan ritual untuk mengikat generasi berikutnya agar menjalani adat-istiadat masyarakat meski mereka melaju kencang untuk bersaing dalam peradaban modern.
Sastrawan Jawa Kuntowijoyo (1987) mereduksi tradisi lisan dapat berupa dongeng, legenda, syair, dan norma lisan yang harus ditaati, meski sebagian menyebut tradisi ini sarat dengan mitologi. Sementara Lord, Sweeney, dan Ong (1982) menjelaskan ruang yang lebih luas, yaitu berbagai ekspresi sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi, dan kepercayaan. Tradisi lisan dapat mengekspansi budaya lokal dan merekat masyarakat sebagai simbol identitas geografis, dan tidak diketahui siapa pencetus pertama kali. Tradisi lisan juga disinggung dalam hukum Islam dengan konteks “’urf” atau “kebiasaan yang baik” yang berlaku di masyarakat.
Dalam pranata sosial masyarakat Jawa Timur misalnya, banyak dijumpai tradisi lisan saat Idulfitri yang diaktualisasikan secara verbal. Dicatat secara verbatime dan dilaksanakan dengan penuh keyakinan “bagi generasi tua”, dan skeptis “bagi generasi muda”, diantaranya; kewajiban memberi THR atau “sangu” kepada anak-anak kecil, komoditi baju lebaran, membawa sebungkus sembako untuk saudara, bersilaturahmi, membuat ketupat, petasan, dan balon udara, terlepas dari fakta historis yang membentuk tradisi tersebut. Semuanya merujuk pada perilaku verbal yang berevolusi menjadi tradisi.
Bagi generasi tua, sebagian besar tradisi harus dilakukan sebagai bentuk pengkultusan sabda nenek moyang. Namun bagi generasi muda banyak yang kurang sependapat karena faktor ekonomi yang belum mapan, waktu yang lebih banyak dihabiskan dengan teman, hingga memilih tradisi baru; nongkrong dengan teman di tempat hitz dan bermain handphone ”. Pada hakikatnya tetaplah sama. Semua akan kembali ke norma masyarakat. Jika masyarakat memiliki paradigma yang rigid dalam merawat tradisi lisan, maka khazanah budaya lokal tetap memiliki defensif yang konkret. Tradisi lisan bukan sekedar sebagai hiburan selebrasi tahunan. Namun memiliki pesan kognitif yang merekatkan nilai-nilai adiluhung masyarakat. Bagi generasi muda seyogyanya ikut merawat tradisi tersebut sebagai bentuk akuisisi nilai-nilai masyarakat meskipun banyak perilaku generasi muda yang sudah abai.
Pelestarian tradisi lisan dalam sosio-kultural masyarakat ialah pendidikan yang tepat untuk membentuk identitas masyarakat (Giorgetti, 2020). Sepadan dengan pernyataan Husserl (1938) bahwa langkah tersebut bukanlah bentuk ortodoksi masyarakat, namun lebih pada pembentukan sistem kekuatan dan fungsi masyarakat. Sementara Bourdieu (2002), kekuatan masyarakat terletak pada simbol-simbol fluktuatif yang mengikatnya. Artinya, merawat tradisi lisan di masyarakat dapat mempertahankan struktur sosial di tengah perubahan peradaban yang begitu cepat. Kita sebagai bagian kecil dari struktur sosial-masyarakat setidaknya dapat melestarikan tradisi tersebut sebagai bentuk penguatan eksistensi masyarakat, identitas sosial, dan ekspansi kearifan lokal.