Keluarga Politik

Setiap anak yang lahir ke dunia tak dapat memilih dari siapa dilahirkan. Selain bab takdir, dia juga hanya berasal dari janin yang bermukim dalam rahim. Bahkan siapa kedua orang tua yang menjadi bakal asal-usulnya pun mustahil diingkari.
Inilah yang membuat soal nasab dan silsilah sering diperdebatkan. Garis biologis seseorang sejak dikandung hingga matinya tak mungkin dibantah. Meski salah satu dari kedua orang tuanya membantah. Meski seorang di antaranya minggat. Melarikan diri dari tanggung jawab. Atau mati. Atau direbut orang lain. Atau alasan lain tidak mengakui.
Darah sosial bisa diingkari. Keturunan ideologis bisa dibantah. Silsilah intelektual bisa dipungkiri. Tapi darah keturunan tak mungkin dihilangkan.
Nasab dan silsilah menjadi keberkahan bagi anak dan cucu. Generasi berikutnya yang mendapat warisan prestasi nenek moyang. Kebajikan dan kebijakan leluhurnya.
Ada juga yang harus menanggung beban sejarah leluhur. Sebab nenek moyangnya mewariskan sejarah kelam. Bisa jadi anak cucu bakal menghadapi kutukan zaman turun temurun.
Ada anak cucu yang lahir dari nenek moyang lurah, kamituwo, mudin, kyai, presiden, ilmuwan, artis dan sebagainya. Anak-anak yang lahir dari keluarga semacam itu tak dapat menolak identitas yang melekat pada leluhurnya.
Meskipun kemudian, ada anak-cucu yang istiqomah dan diberi kesabaran mewarisi prestasi leluhurnya. Anak kyai yang alim menjadi kyai yang alim. Anak artis jadi artis selebritis. Anak pengusaha jadi pengusaha tajir. Anak politisi berkhidmah di dunia politik.
Namun, ada juga anak keturunan wali yang mangkir dari panggilan sejarah. Mereka pilih jalur pengabdian lain. Yang dianggap lebih keramat. Atau anak artis malah jadi pengusaha. Anak pengusaha justru jadi ilmuwan. Anak ilmuwan lari jadi politisi. Dan sebagainya.
Ada di antara fenomena itu yang disebut Keluarga Politik. Bisa karena sejak dulu kala nenek moyangnya memang bergelut di dunia politik. Jadi lurah. Pendiri kampung. Babat alas. Perintis agama tertentu. Dan seterusnya. Yang mereka punya pengaruh politik tertentu. Bisa disebabkan pengaruh dan wibawa bersumber harta, kuasa atau kesaktian tertentu.
Misalnya keluarga Soekarno, salah satu proklamator Indonesia. Anak turunnya juga mewarisi darah politik. Megawati, Puan, dan anggota keluarga lain. Contoh lain SBY, AHY, Ibas dan yang lain. Di banyak daerah dengan mudah ditemukan keluarga politik semacam itu. Di berbagai tingkatan.
Keluarga Politik memberikan warna tersendiri. Bagi sebagian masyarakat, keturunan keluarga politik memiliki aura kepemimpinan khusus. Sebagian percaya aura itu dikirimkan dewa-dewa. Tidak berasal dari rekayasa. Mirip juga jiwa seniman. Anggapan itu ditunjukkan banyak orang belajar seni tak juga jadi maestro. Banyak orang berkarir politik tak juga menanjak apalagi menuju puncak. Karena itu terkait dengan kekuatan dewa-dewa.
Saat ini, kepercayaan semacam itu memang masih dipeluk sebagian orang. Namun sebagian lagi banyak yang lebih percaya bahwa segala sesuatu ada ilmunya. Bisa dipelajari. Dan bisa direkayasa dalam arti positif dan sehat. Termasuk merintis Keluarga Politik.
Mereka yang bukan berasal dari keturunan politisi, atau berlatar Keluarga Politik punya ruang dan kesempatan luas untuk berkhidmat lewat kerja politik. Politik sebagai alat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Politik sebagai sarana merumuskan dan memutuskan banyak hal dalam kehidupan masyarakat.
Keluarga Presiden Jokowi misalnya. Tidak berasal dari keluarga Jenderal atau Presiden, tapi dapat melahirkan para politisi muda. Bahkan menantunya juga politisi. Banyak keluarga ilmuwan dan tokoh agama juga akhirnya menjadi Keluarga Politik. Begitu juga keluarga artis dan pengusaha banyak yang jadi Keluarga Politik.
Fenomena keluarga politik bisa menjadi berkah. Untuk memudahkan masyarakat memilih dan mengontrol. Harapan bahwa keluarganya sudah teruji dalam sejarah. Seperti halnya para raja dan Sultan, putra mahkota bisa meneruskan kewibawaan ayahnya. Masyarakat juga tinggal mengingatkan bila salah. Tiñggal lapor ke orang tua atau sesepuh yang bersangkutan.
Namun, keluarga politik juga dapat menjadi musibah. Itu bila disalahgunakan. Bila dilaksanakan berlebihan. Semua hal baik dapat berubah jadi merusak. Destruktif bagi kehidupan luas.
Kehidupan politik jadi tidak sehat. Politik modern hanya ilusi. Ruang demokrasi tersumbat. Partisipasi politik rakyat jadi lemah. Jalur ekspresi bisa tertutup. Sikap kritis dapat lenyap. Rakyat jadi insecure. Tidak percaya diri. Minder. Dan kehilangan keberanian untuk berpikir dan melakukan apapun.
Masyarakat tidak perlu menjauh dari politik. Sebab politik bagian dari kehidupan. Ilmuwan tak mungkin lepas dari politik. Seniman sulit dilepaskan dari politik. Apalagi buruh, nelayan, petani, ojek, guru, karyawan rendah, dan semua unsur kehidupan yang rentan dan rapuh. Mereka harus terlibat dalam kehidupan politik. Dengan cara apapun.
Keluarga politik hadir bisa menjadi jamu yang menyehatkan. Tapi kalau tidak dikontrol dan diingatkan, bisa jadi racun berbisa yang membinasakan.
Kendal, 2023
*Penggiat Literasi, Dosen Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara