Kabar Pancasila
Dalam sebuah diskusi tentang "Kabar Pancasila Hari Ini", beberapa peserta tampak terkejut dengan penayangan slide yang menunjukkan hasil riset oleh Lembaga Setara. Riset Setara menemukan 83,3 persen responden siswa SMA menyatakan Pancasila bisa atau boleh diganti.
Kabar temuan riset tersebut dapat dimaknai apa saja. Sebab siswa SMA secara usia berada pada rentang masa remaja. Masa remaja kerap dimaknai sebagai "situasi ambigu", "pencarian jati diri", dan pergolakan identitas. Mereka juga kerap dituduh masih berjiwa kanak-kanak sehingga usulan atau pendapatnya kurang dapat didengar apalagi diterima peserta pertemuan. Dalam bahasa anak sekarang, remaja juga kadang diejek "bocil". Alias bocah cilik. Bagi remaja tuduhan tersebut kerap ditolak. Bahkan menimbulkan perlawanan dan pemberontakan sebab di mata mereka bukan lagi anak-anak. Kadang mereka menyatakan "aku sudah besar", "aku sudah dewasa", "aku sudah berani memutuskan diri sendiri", atau "jangan intervensi diriku".
Ada kebutuhan untuk diapresiasi, dihargai dan dihormati dalam sebuah situasi atau kondisi tertentu. Meskipun demikian, kenyataan justru menunjukkan fakta lain. Bahwa ternyata beberapa remaja "tidak cukup siap" dengan pilihan yang diberikan. Atau "kemampuan memutuskan dan bertanggung jawab" atas pilihan-pilihan terkait hidupnya.
Meski merasa "sudah besar", "sudah dewasa", dan "sudah bukan anak-anak lagi", namun remaja kerap menolak digolongkan atau dikelompokkan sebagai "orang tua ", "wong sepuh ", atau sebutan lain. Sebab di mata kalangan remaja, sebutan sebagai "orang tua", atau "wong sepuh" Justeru sering dinilai sebagai "zaman dulu" Yang diidentikkan dengan "kekunoan" bahkan "kejumudan". Malah ada juga yang menyebut "generasi jadul" Sebagai sosok "generasi julid".
Pada situasi tertentu remaja justeru tolak memilih dan minta dipilihkan. Atau, mereka berani memilih berdasarkan preferensi teman sebaya. Bisa disebabkan takut dikucilkan, kadang juga sebab gengsi harga diri yang tinggi. Kadang juga pilihan diambil dengan cara meniru (modeling) pada idola. Remaja ialah sosok fans yang loyal.
Kadang mereka mengidolakan guru di sekolah. Karena itu mereka membela mati-matian guru yang baik dan istimewa di matanya. Bukan hanya dipuja-puji tapi juga dikado dan dirayakan ulang tahunnya. Begitu pula terhadap idola sosok selebritis atau artis. Hampir tak ada cela atau aib yang dapat atau boleh disematkan pada idolanya.
Bagaimana memahami hasil riset yang diumumkan oleh Lembaga Setara terkait persepsi remaja yang menyatakan bisa atau boleh diganti?
Di era digital, para remaja mendapatkan pengetahuan yang lebih beragam. Dari orang tua, sebaya, guru, buku, tetangga, saudara, dan apa yang disebut sebagai media digital. Remaja hidup secara online dan offline. Mereka berselancar secara daring dan luring. Bertemu dengan kawan maya maupun lawan nyata.
Mereka dapat memanfaatkan mesin pencarian seperti google atau mesin lain. Mereka boleh belajar melalui medsos baik individual maupun kolektif. Mulai dari facebook, whatsapp, tiktok, instagram, youtube maupun medsos lain. Bahkan saat ini mereka lincah menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Di antara sumber pengetahuan yang online dan offline sama-sama punya potensi salah. Atau punya potensi menjamin kebenaran. Namun, di antara resiko yang ada, perjumpaan secara online kerap dianggap lebih susah dikontrol dan dikendalikan. Ada peluang manipulasi, kamuflase, kehadiran semu, dan segala bentuk ketidaknyataan lain. Termasuk dalam proses pemerolehan pengetahuan terkait Pancasila.
Hasil riset Lembaga Setara bagi generasi tua bisa saja dimaknai sebagai keadaan yang "sangat berbahaya", "sangat mengkhawatirkan", "sangat menakutkan" bahkan "sungguh menyeramkan". Sebab generasi tua punya harapan besar para remaja itulah yang kelak jadi penerus mereka. Bagaimana masa depan bangsa dan negara ini bila persepsi remaja terhadap Pancasila begitu rupa?
Namun, bisa saja hasil riset itu justru menjadi sanksi moral yang sebenarnya diberikan para remaja terhadap generasi tua. Hasil riset itu semacam satire yang menampar wajah kaum tua. Para remaja diam-diam melakukan perlawanan bahkan pemberontakan terhadap laku generasi tua masa kini yang dianggap jauh dari nilai Pancasila.
Anak-anak dan remaja telah mendapat pelajaran Pancasila di sekolah. Mereka juga melaksanakan upacara hari senin dan hari besar. Di rumah dan sekolah dipasang lambang garuda dan teks Pancasila. Di pertigaan atau perempatan kadang ada patung garuda. Sumber pengetahuan terkait Pancasila sangat mudah ditemukan. Hal-hal yang mampu dan dapat menjadi sumbu menyalakan lampu dan cahaya cinta terhadap Pancasila terbuka lebar dan mudah diperoleh.
Namun, anak-anak dan remaja itu tampaknya menemukan kontradiksi antara pikiran, lisan dan laku generasi tua tentang Pancasila.
Boleh jadi para remaja itu sedih, kecewa, putus harapan dan marah sebab generasi tua tidak tampak menunjukkan konsistensi berpancasila.
Tiap hari di media mereka menemukan para tokoh merumuskan undang-undang, rapat, mendiskusikan kebijakan negara, menyikapi nasib rakyat yang bisa jadi dipandang jauh dari laku Pancasila.
Mari dilihat bagaimana anak-anak muda itu bersuara, speak up di berbagai daerah, menyuarakan ketidakadilan, meneriakkan penindasan, dan bersikap "solid" menghajar generasi tua dengan cara mereka.
Mereka ialah generasi milenial yang saban waktu menemukan kegilaan dalam praktik berbangsa dan bernegara. Mereka anak-anak masa depan yang saban kala mampu menilai laku Pancasila orang-orang di sekitarnya. Dan mereka terus menggunakan senjata yang lumayan ampuh hari ini: media sosial. Tempat mereka kongkow, bercengkerama dan mendiskusikan banyak hal dalam kehidupan Indonesia.
Mungkin perkembangan situasi ini luput dari perhatian generasi tua. Sehingga memandang generasi remaja sebagai sumber masalah berbangsa dan bernegara. Tidak coba bercermin diri bagaimana laku Pancasila mereka. Sudahkah selaras Pancasila dalam lisan, pikiran dan tindakan? Apakah Pancasila sekadar jadi slogan dan jargon? Apakah Pancasila hanya lip service kampanye politik musiman?
Generasi remaja itu para peniru yang hebat. Mereka butuh cermin yang sepadan. Agar Pancasila tetap menjadi mantra keramat.
Berhati-hati memandang dan menilai perkembangan perlu diterapkan. Jangan-jangan yang sangat menakutkan, mengkhawatirkan, dan membuat resah itu bukan pada para remaja tapi justeru kaum tua?
Kendal, 2023
*Muhammad Thobroni
Dosen Universitas Borneo Tarakan Kaltara, Penggiat Literasi