Hiraeth: Penjala Kegagalan

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab INSURI; Penulis Novel Pelangi dalam Gawai
:aroma petrikor, Ar-Rahman versi Muzammil Hasballah.
Sehening ini ―lengang tanpa sein kanan belok kiri―, kaupenuhi undangan privat. Sambil menahan decitan pintu, kamu melangkah menuju kamar yang tiada duanya.
Di depan jendela kamar, tampak sosok perempuan dengan garis-garis halus di wajah sedang menyeruput espresso yang sama sekali tidak ia sukai. Membekas kulacino pada tumpukan naskah puisi ―milik suaminya; Cut Bang Albar― di atas nakas. Napasnya berembus teratur, tidak seperti rencana yang maju mundur. Sesekali terdengar suara saliva kering yang sumbang.
Perempuan itu kemudian nerocos lebih dari seribu satu kata di hadapan kertas basah. “Tes SKD berlangsung besok setelah duhur. Lihat aja gimana caraku mempersiapkan kegagalan.”
Sebagai penjala kegagalan, tugasmu adalah mendengar sebelum bertuah.
“Berceritalah tentang kegagalanmu!” perintahnya.
~oOo~
Bus tidak lagi berjalan lamban. Padahal kamu ingin menikmati kegagalan lebih lama bersama alam. Usai hadirmu ke Lhokseudu tidak disambut baik oleh rekan-rekan Teuku Albar ―nelayan tangguh yang diandalkan masyarakat setempat― kamu dikejutkan oleh suara orang-orang yang tidak rida jika Albar meninggalkan tanah kelahiran dengan alasan apapun.
Jalan Pahlawan Ponorogo sudah rindu tawamu. Tempat yang pantang bagimu memperlihatkan air mata. Di sana, bukan sekadar rumah, tetapi kamulah hakikat rumah. Di sana pula, tidak ada yang peduli dengan hobi, gelar, profesi, serta kebiasaan gilamu. Sungguh tidak ada seorang pun yang mengomentari lamunanmu berjam-jam.
“Apa yang salah dengan penarik pukat bergelar magister?” tanyamu dari balik kaca bus. Bagimu, menjala kegagalan adalah sensasi menikmati belajar yang paling sadar.
Bus mengerem dadakan di jembatan Kali Catur Madiun. Melempar ingatanmu pada insiden di angkringan Kali Code Jogja. Saat itu, kamu sedang bertransaksi tiga kardus buku bajakan ―cita-citamu hanya ingin mendirikan penerbitan untuk naskah-naskah Teuku Albar yang berada dalam sampah penerbit mayor Jogja― dan naas, tiga polisi menggerebek. Kamu terkekeh mengingat kepolosanmu yang mau-mau saja bekerja sama dengan percetakan bodong itu.
Kamu mengembuskan napas sesak akibat bau solar. Mengepulkan aroma sandalwood di mini kopitiam. Kedai minimalis dilengkapi pojok baca yang kaudirikan dengan harapan besar. Meski hanya berjaya tidak lebih dari satu tahun.
Benar kamu menikmati tiap kegagalan. Namun, tidak dengan kedua orang tuamu. Jelas mereka memintamu melanjutkan studi hingga magister, lalu diminta untuk menjajal CPNS. Kini, masalahmu bertambah sebab keputusanmu mengajak Albar ke Jawa nyatanya gagal.
~oOo~
Cerita kegagalan belum sepenuhnya kauselesaikan, saat Albar memanggilmu melalui video Whatsapp.
“Semangat, Sayang,” suara Albar semringah.
Tidak ada siapa pun di kamarmu. Hanya kamu, secangkir espresso, murrotal Muzammil, dan tumpukan naskah puisi suamimu; Cut Bang Albar.
Iya, kamu adalah perempuan yang mengundang diri sendiri untuk bercerita mengenai kegagalan di masa lalu. Memang begitu caramu mengambil keputusan saat ini.
“Kalau gagal tes, apa Cut Bang mengizinkanku untuk berkolaborasi dengan siapa pun?”
“Lebih baik begitu,” tukasnya. “tenang saja, aku berencana pindah dari Lhokseudu. Atas kemauanku. Lagipula tidak ada yang bisa menghalangi keputusanku, kan? Aku akan memikirkan cara untuk bertahan hidup. Jadi... temani aku membuat kesalahan dan kegagalan baru, ya.”
Kamu mengiakan. Setelah mendengar pernyataan itu, kamu akan tidur pulas malam ini. Bagimu, kesalahan adalah materi pelajaran terasyik untuk dipelajari. Sementara kegagalan tidak serta merta hadir tanpa memunculkan inovasi baru. Asal teriring harap dan doa, semua akan baik-baik saja.
Dan malam ini, kesekian kalinya kamu gagal untuk mengkufuri nikmat-nikmat Tuhanmu.