Amanat Konstitusi dan Makin Mahalnya Pendidikan

17 Maret 2023 16:57
Amanat Konstitusi dan Makin Mahalnya Pendidikan
Oleh A`Ainun Zeva Zachari

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebut salah satu tujuan pokok dari didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah penguatan sektor pendidikan. Hal tersebut sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 45 yang berbunyi “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”, Tertulis dengan jelas “mencerdaskan kehidupan berbangsa”. Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah, sudahkah tujuan tersebut tercapai? Sejauh apa usaha pemangku kebijakan untuk mencapainya?

Menurut data data empiris dari beberapa lembaga, dari OECD (Organization for Economic and Co-operation Development) misalnya, yang menyelanggarakan program PISA—sebuah program yang mengukur performa akademik dari bidang sains, matematika dan kemampuan literasi­ siswa berusia 15 tahun—data menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 6, dari bahwah, tepatnya pada peringkat 74 dari 80 negara. Katakanlah kita tak dapat memutuskan tingkat ketercapaian tujuan pendidikan negara hanya dari hasil survey satu lembaga saja, mengutip beritasatu.com dalam sebuah artikelnya menyebutkan sekitar lima juta anak di Indonesia kesulitan untuk mengakses Pendidikan, hal senada dinyatakan dalam artikel berjudul “Akses Pendidikan Tinggi di RI Rendah, Universitas Terbuka Solusinya?” yang diterbitkan oleh detik.com,  menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK-PT), yang menggambarkan jumlah masyarakat yang dapat melanjutkan pendidikan tinggi pada tahun 2020 baru sekitar 30,85%. Tertinggal dibanding Malaysia yang mencapai 50% dan Singapura yang lebih dari 70%.

Biaya Pendidikan yang Tinggi dalam perspektif Determinisme Ekonomi

Kembali pada pertanyaan “sudahkah tujuan dari amanat UUD 45 tercapai?”, hal tersebut tidak akan terjadi, jika bahkan tidak ada usaha untuk mendekat pada tujuan tersebut, misal, untuk sekedar memperoleh akses terhadap Pendidikan saja, yang notabene hal tersebut sudah menjadi hak dasar setiap warga negara Indonesia, masih banyak yang kesulitan dalam mendapatkannya. Dari sekian banyak faktor yang menghambat aksesibilitas terhadap pendidikan, disini kita akan fokus pada faktor utama, yakni biaya Pendidikan.  Teori determinisme ekonomi menyatakan bahwa, seluruh sendi kehidupan masyarakat, serta institusi institusi yang mengaturnya, sekalipun institusi non-ekonomi, setiap prosesnya didasarkan pada asas asas ekonomi, tak terkecuali institusi pendidikan.

Situasi ini tergambar dalam beberapa laporan media, yang menunjuk realitas pendidikan terkait dengan situasi ekonomi masyarakat. CNBC dalam artikelnya “Lapor Pak Jokowi, Angka Anak Putus Sekolah Naik Lagi!” memaparkan bahwa statistik anak putus sekolah naik menjadi 1.38% pada 2022, setelah sempat turun di tahun 2021, yakni pada angka 1.12%. hal tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor yang diantaranya adalah minat sekolah anak yang rendah, permasalahan internal keluarga, dan tentunya faktor ekonomi. Hal senada muncul melalui data data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa faktor terbesar angka putus sekolah dilatar belakangi pemasalahan ekonomi, sebesar 76% keluarga menyatakan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena faktor ekonomi dimana 67% disebabkan tidak mampu membayar biaya sekolah, sedang 8,7% sisanya harus mencari nafkah, demikian sebagaimana dilansir detik.com. Penelitian Litbang Kompas yang dipublikasikan melalu kanal medianya memaparkan bagaimana gap atau selisih antara upah orang tua dan biaya kuliah kian melebar secara signifikan tiap tahunnya. Kenaikan upah orang tua lulusan SMA sebesar 3,8 %, lulusan perguran tinggi pada angka 2,7%, sementara biaya kuliah naik 6,03% persen tiap tahunnya.

Realitas ini menggambarkan betapa pendidikan utamanya pendidikan tinggi, pemangku kebijakan perlahan melepas tanggung jawab utama layanan pendidikan.  Ironis. Kebijakan penetapan Universitas PTN-BH untuk perguruan tinggi terkemuka, kurikulum MBKM, menunjukkan kecenderungan demikian. Nampaknya secara administratif memang lebih otonom, namun dalam menyokong pembiayaan operasionalnya, namun beban atas pembiayaan ini tetaplah mahasiswa. Pendidikan Tinggi juga akan makin dekat dengan kepentingan industri dan logika komersial. Pendidikan akan semakin komersil, dimana logika ekonomi menguasai pengelolaan pendidikan tinggi. Otonomi Pendidikan dengan tujuan luhurnya semakin terbatas akibat jebakan determinasi ekonomi ini.  Pada akhirnya amanat konstitusi “mencerdaskan kehidupan berbangsa” pada pembukaan  UUD 1945, akan kehilangan relevansinya. Kecuali jika pemangku kebijakan harus kembali melakukan  reposisi kebijakan, kembali kepada amanat UUD 1945. Tentu dalam situasi ini evaluasi atas sistem pendidikan melalui revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menemukan relevansinya.

*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber foto: IG @unybergerak