Agnostik atau Agamis?
Tulisan ini terinspirasi saat penulis ngobrol santai dengan adik sepupu saat melangsungkan perjalanan menuju Yogyakarta yang kebetulan saat ini dia sedang menempuh kuliah di program studi ilmu Komunikasi, fakultas ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) UGM Yokyakarta. Salah satu hal yang penulis tanyakan adalah mengenai kehidupan sosial-keagamaan mahasiswa di fakultas tersebut, terutama terkait dengan radikalisme ajaran agama. Menurutnya, kebanyakan kehidupan mahasiswa di FISIP UGM adalah agnostik, dimana mereka berpendapat bahwa agama adalah buatan manusia. Hal yang terpenting dalam hidup adalah memegang norma kebaikan, tanpa harus mempelajari agama secara mendalam.
Ajaran agama tidak terlalu mainstream di FISIP UGM atau di fakultas-fakultas ilmu sosial, akan tetapi agama tumbuh di lahan yang subur dan menjadi tren di fakultas ilmu sains. Mengapa demikian? Apakah agnostik lebih baik dibanding ajaran agama yang radikal? Atau sebaliknya. Kemudian, apakah ada alternatif dari keduanya? Pertanyaan seperti ini seakan menjadi perenial problems di dalam dunia akademisi.
Menurut Al-Ghazali (1109), orang yang hanya belajar agama ibarat orang pincang, sedangkan orang yang hanya belajar ilmu dunia ibarat orang buta. Lantas, bagaimana kita bersikap? Sepintas terlihat pengibaratan yang pertama lebih baik dibanding yang kedua. Kenapa? Ya lebih baik pincang tapi tidak buta, sehingga masih bisa kemana-mana dengan bebas dan dapat mengetahui dunia dengan sempurna, baik warna bentuk dan sebagainya. Perbandingan ini terkesan tidak seimbang dan lebih mementingkan ilmu agama daripada ilmu-ilmu yang lain.
Jika ilmu itu ibarat cahaya, maka kalau boleh fair, bahwa kekurangan atas salah satu ilmu tersebut “ilmu sosial atau ilmu sains” semestinya juga sama butanya. Kedua ilmu tersebut wajib dimiliki oleh setiap manusia. Ilmu agama sebagai penerang kebutuhan ruhaniyah, sedangkan ilmu sains untuk penerang kebutuhan jasmaniyah.
Tren perkembangan ilmu agama di kalangan kaum milenial belakangan ini mengalami perkembangan yang sangat cepat, apalagi dibantu dengan media sosial yang sepak terjangnya tidak terkendali. Ajaran agama ibarat suplemen makanan yang wajib dikonsumsi dengan lahap setiap hari. Padalah suplemen belum tentu menambah baik kondisi kesehatan pemakainya. Merek-merek ajaran agama (Islam) berkembang sangat beragam dengan menawarkan berbagai gambaran keunggulannya masing-masing, mulai dari cara bermuamalah secara umum, hingga kehidupan pribadi. Kemudian, setiap hari suplemen mulai terinjeksi dengan ganas melalu media sosial, akibatnya banyak yang mengalami overdosis dan menjadi agamawan lebay dalam kehidupan sosial. Anehnya, model demikian lebih diminati oleh para aktivis ilmu-ilmu sains. Mengapa demikian? Karena bagi aktivis ilmu sains, kebenaran itu bercorak hitam-putih. Ilmu sains selalu mengehendaki kepastian dengan formulasi angka dan dalil yang mengakibatkan mereka lebih cenderung mengalami keadaan yang hiper-realitas, yakni mencabut dirinya dari akar sosial yang ada di sekitarnya. Bentuk ketercerabutan ini misalkan mendorong membuat dalil-dalil radikal atas nama agama seperti dalil takfiri, dalil intoleransi dan halusinasi, dan bentuk negara ideal di dunia semisal khilafah.
Sebaliknya, para pemegang ilmu sosial yang agnostik juga mengalami kebingungan atas orientasi hidup. Pandangan mengenai kehidupan setelah kematian misalnya tidak begitu mengakar. Dalam pandangan mereka, berbuat baik sesuai adat dan norma itu sudah cukup. Sekilas ini lebih baik daripada model ajaran agama yang radikal. Mengapa demikian? Minimal pandangan ini tidak merangsang perbuatan yang merusak tatanan kehidupan sosial. Pandangan ini lebih tren di kalangan akademisi ilmu sosial yang menggunakan cara pandang “tidak hitam-putih”. Kebenaran mutlak tidak pernah dapat dirumuskan dengan pasti dengan formulasi angka-angka dan dalil-dalil sains. Jika pandangan ini dipegang oleh agnostik-toleran, maka akan lebih baik dari pada agnostik-radikal. Sebaliknya, jika pandangan ini dipegang oleh agnostik-radikal, maka akan sama ngerinya dengan agamawan-radikal, karena tidak memiliki konsep hidup setelah mati, Baginya, kehidupan di dunia adalah segalanya.
Cara pandang yang ekstrim atau lebay dalam kehidupan sosial memang tidak cocok diterapkan. Harus ada alternatif “antara” yang disebut jalan tengah atau moderasi. Terlalu ektrim dengan ajaran agama yang lebay juga dinilai tidak bagus, begitu juga sebaliknya. Dalam kurikulum akademis mestinya memberikan porsi seimbang antara keduanya, khususnya di fakultas/jurusan/program studi eksakta, yakni dengan membubuhkan kurikulum mengenai sosiologi dan antropologi yang mengenalkan teori-teori moderasi. Kemudian, untuk rumpun-rumpun ilmu sosial seharusnya mengajarkan matakuliah keagamaan moderat, atau biasa disebut matakuliah Aswaja khususnya Aswaja An-Nahdliyyah. Dan jika memungkinkan, hal ini bisa ditanamkan menjadi kurikulum wajib yang harus dipelajari mulai sejak jenjang pendidikan dini hingga doktoral.
*) Agus Setyawan, Dekan Fakultas Dakwah INSURI; Mahasiswa Program Doktor Antropologi UGM Yogyakarta.