Weg tot de wetenschap adalah jalan menuju pengetahuan
Ini esai ringkas (yang penuh basa-basi) tentang salah satu sudut kota Utrecht, kota tempat saya tinggal dan menepi sejak hampir empat tahun silam ini. Kota yang ada di jantung negara Belanda ini merupakan kota terpadat keempat di Belanda, setelah Amsterdam, Rotterdam, dan Den Haag. Per Januari 2023, jumlah penghuninya terhitung ada di kisaran angka 368ribuan jiwa, kurang dari separuh penduduk Kabupaten Ponorogo, tanah tumpah darah saya. Dari 300ribuan jiwa tersebut, tak kurang dari 60ribu-nya merupakan mahasiswa. Belum termasuk mahasiswa Utrecht yang berasal dari atau (memilih) tinggal di kota lain, atau warga Utrecht yang duduk di bangku sekolah dasar dan menengah.
Perguruan tinggi di Utrecht tidak banyak, antara lain Universiteit Utrecht, Universiteit voor Humanistiek (UvH), Hogeschool Utrecht (HU), dan Hogeschool voor de Kunsten Utrecht (HKU). Sengaja saya tuliskan dengan nama Belanda-nya untuk memudahkan narasi. Universiteit Utrecht cukup jelas, yaitu universitas yang di dalamnya dipelajari aneka ragam ilmu pengetahuan mulai dari fakultas ilmu sosial, politik, humaniora, ekonomi, ilmu bumi (anekdot kami: mulai dari perut bumi, permukaannya, sampai langitnya, dibahas di fakultas yang cukup banyak pelajarnya dari Indonesia ini), hukum (yang sedianya akan menjadi tempat belajar aktivis HAM, almarhum Munir), dan lain sebagainya. UvH, dari namanya, juga cukup jelas. Ini merupakan kampus yang memfokuskan diri pada riset bidang humaniora. Kemudian ada HU yang kebanyakan pelajar Indonesia-nya belajar ekonomi kreatif, dan HKU yang merupakan sekolah seni (kunst). Saya tidak tahu apakah ada jurusan selain musik, tapi yang pasti pelajar-pelajar Indonesia di HKU mahir memainkan irama indah dengan piano dan alat musik lainnya.
Ada juga Universitair Medisch Centrum Utrecht (UMCU), rumah sakit yang berafiliasi dengan Universitas Utrecht. Ini lazim di Belanda. Terdapat delapan rumah sakit yang “berperan” sebagai Fakultas Kedokteran sekaligus Laboatorium Medis bagi universitas di kota tersebut. Kemudian ada juga Universitas Terbuka (Open University) yang saya tidak tahu apakah ada pelajar Indonesia yang memilih belajar di sini, alih-alih di Pamulang, Tangerang Selatan. Dan yang terakhir adalah TIAS School for Business & Society, kampus cabang dari Tilburg Institute of Advanced Studies - sebuah institut kerja sama antara Tilburg University dengan Eindhoven University of Technology.
Sedikit berbeda dengan universiteit yang mempelajari ilmu pengetahuan (wetenschappelijk onderwijs/science education), maka hogeschool atau hoger beroeponderwijs/HBO (pendidikan profesi) lebih menyiapkan peserta didik yang siap kerja, karena yang dipelajari adalah ilmu-ilmu terapan. Oleh karena itu, hogeschool juga kerap menggunakan versi bahasa Inggris university of applied sciences untuk nama kampusnya, seperti HU, dari Hogeschool Utrecht menjadi Utrecht University of Applied Sciences.
Penjurusan atau pembidangan seperti ini bukan baru dimulai di level perguruan tinggi, melainkan sejak jenjang SMP sudah dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu HAVO dan MBO yang lulusannya akan masuk ke HBO, dan VWO yang lulusannya bisa memilih antara HBO atau universitas. Tapi saya tidak akan membahas sistem pendidikan di Belanda lebih jauh. Dalam esai ringkas ini, saya justru akan membahas tentang Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah saw. dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. - sembari mengayuh sepeda jengki Gazelle hitam bermotif bunga di weg tot de wetenschap.
Babu madinati-l-ilm dan otoritas
Weg tot de wetenschap adalah nama sebuah jalan yang agak tidak lazim dalam penamaan jalan di Belanda. Biasanya, nama jalan ditandai dengan straat (seperti Bazelstraat), weg (Amsterdamstraatweg), dreef (Arnodreef), pad (Munirpad), laan (Padualaan), dan sejenisnya. Bukan dengan frasa seperti weg to de wetenschap yang bermakna “jalan menuju pengetahuan”.
Jalan ini beraspal warna merah, yang merupakan tanda jalur sepeda, membentang di kawasan antara Stadion Galgenwaard, kandangnya klub sepakbola semenjana FC Utrecht, ke arah timur menuju Utrecht Science Park yang secara letterlijk bermakna Taman Ilmu Utrecht. Atau bisa juga Kota Ilmu Utrecht, untuk memaksa dipadankan dengan dhawuh Kanjeng Nabi, madinatu-l-ilm. Jadi tak heran jika jalan ini dinamai jalan menuju (kota) ilmu/pengetahuan. Apalagi di kawasan seluas 300an hektar ini terdapat kampus UU, UMCU, dan HU, serta Kebun Raya Utrecht (Botanische Tuin) dan beberapa lembaga riset ataupun bisnis lainnya. Termasuk juga empat asrama mahasiswa yang “hanya” mampu menampung kurang dari 3000an mahasiswa --- isu tentang keterbatasan jumlah asrama mahasiswa memang menjadi isu nasional di Belanda hingga saat ini.
Keberadaan jalan ini mengingatkan saya pada hadits Kanjeng Nabi yang berbunyi Ana madinatu-l-ilm wa Ali babuha, fa man arada-l-ilm fa-l-ya’ti min babihi. Aku adalah kota ilmu pengetahuan, dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menghendaki ilmu, maka datangilah (lewat) pintunya. Analogi yang sangat bernas dari Kanjeng Nabi untuk mengapresiasi kecerdasan dan kecemerlangan sepupu yang juga menantunya itu. Dengan sabda tersebut, Rasulullah menunjukkan beberapa hal. Terutama penegasan otoritas keilmuan yang diwariskan kepada Ali dan hal dasar metodis untuk meraih sesuatu.
Otoritas keilmuan, sebagaimana jenis otoritas lainnya, rasanya tidak berbeda jauh dari apa yang ditawarkan oleh Weber (1961), Willer (1994), Skalnik (1999), hingga Alatas (2021). Ia dapat berwatak tradisional, karismatis, rasional, ataupun ideologis. Caranya diperoleh juga tidak tunggal. Ia bisa diwariskan, atau merupakan hasil ikhtiyar, atau kombinasi keduanya. Yang pasti, otoritas apapun tidak akan menjadi otoritas jika tidak ada pengakuan atasnya, baik yang sifatnya suka rela (voluntary submission) maupun dikondisikan (coercive submission).
Dalam hal otoritas keilmuan sang sahabat karramallahu wajhah ini, penegasan dari Rasulullah maupun pengakuan umat tak terbantahkan adanya. Apalagi diperkuat pula oleh testimoni atas ekselensi Ali sebagaimana ada dalam Mawaidz Ushfuriyyah, dimana dikisahkan bahwa Ali dapat menuntaskan tantangan kaum Khawarij yang notabene dengki padanya. Singkatnya, otoritas keilmuan Ali bukanlah otoritas yang rapuh (fragile). Ia bukan otoritas yang labil disematkan pada tokoh tertentu atas dasar sentimen ideologis tertentu. Ia bukan otoritas “mana suka” sebagaimana dapat dengan mudah kita cermati dari fenomena mutakhir: si A disukai karena ia lulusan kampus A, si B disukai karena ia pengasuh lembaga B, si C disukai karena ia aktivis organisasi C, si D disukai karena ia tampan, atau si E yang disukai karena ia getol menolak isu tertentu, dan seterusnya.
Padahal Kanjeng Nabi juga sudah mengajarkan prosedur untuk mendapatkan ilmu. Jika ingin mendapatkan ilmu, maka datangilah pintunya. Meski hadits tersebut secara eksplisit menyebut Ali, tetapi ia tentu bersifat universal. Mencari ilmu tidak elok pilih-pilih (cherry picking) karena sentimen ideologis tertentu. Ini tentu saja tidak mudah, karena bagaimanapun juga otoritas ideologis (Willer, 1994) akan terus berperan beriringan dengan kuasa simbolik maupun habitus (Bourdieu, 1989) dalam membentuk pertimbangan atas ragam pilihan.
Namun, sebagaimana weg tot de wetenschap yang secara material mengantarkan banyak orang menuju taman ilmu, secara moral harus ada upaya meneladani ajaran Nabi tentang prosedur mendapatkan ilmu ataupun ajaran-ajaran lainnya. Menutup diri dari kesempatan mendapat ilmu dari individu atau tokoh tertentu karena sentimen ideologis tentu bukan sikap yang bijak dari seorang pencari ilmu. Imam Syafi’i berkata, “Terlalu keras dan menutup diri terhadap orang lain akan mendatangkan musuh, dan terlalu terbuka juga akan mendatangkan kawan yang tidak baik. Maka posisikan dirimu di antara keduanya.” Di atas segalanya, sikap moderat memang seyogyanya jadi pilihan terbaik di hampir segala situasi.
Sebelum mengakhiri esai ringkas ini, saya teringat pula nasihat lainnya dari Imam Syafi’i, yang rasanya relevan dengan perjalanan saya mengayuh sepeda dari kamar kontrakan di “kecamatan” Overvecht sejauh 7km menyusuri weg tot de wetenschap, jalan menuju pengetahuan. Hanya 14km pulang pergi, bukan 14.688km sebagaimana saya hitung jarak Utrecht Science Park dari INSURI Ponorogo; yang hanya perlu sedikit berpeluh di musim panas dan sedikit menggigil di musim dingin. Nasihat yang rasanya terus menampar dan menyadarkan saya untuk tetap bertahan: “Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.” Wallahu a’lam.
-----
Catatan: (1) Sebagian dari tulisan ini telah disunting dan terbit di Arrahim.ID dengan judul "Kota Utrecht: Madinatul ‘ilm di Belanda"; (2) Foto ilustrasi diambil di salah satu jalur sepeda di weg tot de wetenschap, di persimpangan antara salah satu kompleks kampus UU dan Botanische Tuin.