Obituari Sang Guru
Pertama kali saya mengenal beliau ketika saya menempuh semester akhir program sarjana saya. Saat itu, meskipun tidak asing namanya karena beliau salah satu tokoh pendiri perguruan tinggi tempat saya belajar, namun itu adalah kali pertama saya bertemu beliau dan memperkenalkan diri. Beliau dilantik menjadi rektor baru kampus saya saat itu.
Saya mendengar pidato pertamanya sebagai rektor, nada bijak, intonasi keluasan intelektual dan hikmah yang dalam saya dengar saat itu. Selanjutnya, gaya pidato dan pilihan kalimat beliau selalu renyah, khas pesantren, berbasis kedalaman pemahaman atas segala hal. Tema pidatonya sering kalu berangkat dari teks (ayat, hadits, qaul ulama) namun disampaikan dengan pilihan diksi yang santai. Seperti ketika menyampaikan Aswaja itu adalah singkatan dari "Asli Warisan Jagad" untuk menjelaskan bahwa orang yang ngaku aswaja harus khusu' dalam sholat, menjaga diri dari yang tidak berguna, menunaikan zakat, menjaga kemaluan dan seterusnya (al-Mukminun 1-9). Merekalah orang orang yang MEWARISI (al-Mukminun 10)
Tahun awal beliau menjadi rektor, sebuah jurusan baru dibuka dan langsung mendapat animo yang luar biasa dari masyarakat. Jurusan baru dengan jumlah mahasiswa baru yang fantastis. Membuktikan beliau sosok yang "lantip", jeli melihat dunia dengan kaca mata yang dilandasi tingkat spiritual yang mapan.
Sebagai mahasiswa yang "agak aktivis" saat itu, pernah saya berbeda pendapat tentang sebuah issu politik dengan beliau. Cara beliau meredam ledakan-ledakan pendapat saya yang khas mahasiswa itu begitu "nuani". Beliau ambil spidol lalu beliau tulis angka 9 di sebuah HVS lalu beliau bertanya ke saya, "ini angka berapa?", saya jawab "angka 9", beliau melanjutkan "tidak, dari tempat saya melihat ini adalah angka 6". Tersadarlah saya saat itu bahwa sudut pandang sangat mempengaruhi pendapat seseorang atas sesuatu. Tersadarlah saya sudut pandang beliau sebagai rektor tidak bisa terjangkau oleh saya yang masih mahasiswa.
Cara menegur seperti ini juga beliau sampaikan ketika saya sowan meminta meminta restu dan meminta beliau memimpin do'a dalam acara pernikahan saya. Begitu bodohnya saya saat itu, mencetak foto berdua dengan calon istri saya dalam undangan pernikahan kami. Beliau menegur dengan sebuah kalimat "koyo artis wae durung sah kok wes poto wong 2".
Tentu banyak sekali teguran-teguran seperti itu yang tidak bisa saya tulis semuanya di sini. Apalagi ketika saya berkesempatan menjadi sekretaris Ansor Ponorogo beliau adalah Rais Syuriyah tentu saja banyak sekali nasehat-nasehat beliau yang saya pedomani dalam berkhidmat di NU. Banyak hal mulai dari hal teknis keorganisasian sampai dengan sikap ketika organisasi harus bersinggungan dengan "kontraksi" 5 tahunan dari dalam dan luar organisasi (istilah ini asli saya kutip dari beliau).
Saya ikut ngaji pengajian kitab "Kawakibul Lamaah" yang beliau ampu. Pernah beliau ragu terhadap sebuah keterangan di kitab karangan syeich Fadhol Senori itu. Kebetulan saya ada kontak dengan salah satu dzuriyah (cucu atau buyut) dari Syeich Fadhol, beliau memaksakan diri mengajak saya dan beberapa teman untuk menziarahi makam syeich Fadhol Senori, silaturrahmi dengan dzuriyahnya dan mendiskusikan keterangan yang ada di Kawakibullamaah yang beliau masih ragu, sampai beliau yakin dengan apa yang dimaksud teks yang ditulis mbah fadol. Begitu cara beliau berhati-hati dan menjaga keaslian sebuah pengetahuan.
Komitmennya terhadap tugas dan tanggung jawabnya di luar batas ukuran orang normal. Beliau terbiasa dalam satu malam menghadiri 3 sampai 4 acara organisasi. Di tengah kesibukan dan tanggung jawab beliau terhadap santri dan pondok yang beliau asuh. Sehingga kedisiplinan beliau dalam menepati jadwal waktu sangat presisi.
Perhatian beliau pada sejarah penyebaran Islam di Ponorogo pasca perang Diponegoro menghasilkan sebuah karya "Geneaologi Pesantren Ponorogo". Sebuah karya yang pantas menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin mempelajari sejarah peradaban Islam di Ponorogo.
Perhatian beliau pada urusan umat tidak pernah berhenti. Lebaran ini saya sowan pada saat beliau sedang "gerah" dalam keadaan "rest on bed" selama beberapa hari, beliau masih sempat mengajak diskusi, dengan maksud ingin memastikan saya menjalankan sesuatu yang beliau tugaskan ke saya (dan 2 teman yang lain).
Saya tidak mampu lagu menemukan kalimat untuk melukiskan Keluhuran Kyai IMAM SAYUTHI FARID. Dengan semua keluhuran itu tidak ada lagu alasan bagi surga untuk menolak kehadiran Panjenengan.
Sugeng tindak KYAI..
Cadong Duko ingkang kathah, dalem tamtu mengecewakan panjenengan
*Jamal Mustofa, Sekretaris Yapertinuka, alumni S1 dan S2 INSURI Ponorogo