Melawan Industri Kebencian

17 Desember 2019 08:03
Melawan Industri Kebencian
Oleh Murdianto An Nawie*

Terlalu lelah. Masih saja begitu, meski Pilpres telah lewat. Para petarung telah berbagi kuasa. Namun  masih saja muncul dan viral ujaran kebencian, persekusi dan ancaman. Dan kembali berulang, kebencian mengatas namakan agama atau simbol agama. Selasa (10/12/2019), viral video ancaman dan persekusi terhadap seorang banser. Akun Twitter @nahdlatululama, menjelaskan bahwa kejadian ini terjadi di Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Detikcom (11/12/2019), menyebut video berdurasi 1 menit 2 detik itu tampak dua orang anggota Banser berseragam. Banser tersebut berbicara dengan seorang yang merekam video sambil menunjuk-nunjuk mereka. Video itu diawali dengan makian 'monyet' untuk bertanya di mana e-KTP kedua anggota Banser itu. Korban ungkapan kebencian dan persekusi diketahui bernama Eko. Seorang anggota Banser di kota Depok. Eko dipaksa teriak takbir. Eko tak mau, dan teriakan kafir diarahkan padanya.

Kebencian dan persekusi atas nama agama makin terbuka. Perkusi dilakukan di pinggir jalan, di tempat terbuka. Pelakunya membawa label dan simbol agama. Forum keagamaan, dengan mudah menjadi caci maki. Oh, sebegitukah orang beragama itu?

Ya, mungkin saja. Karena dia tetaplah manusia. Agama berisi ajaran dan nilai kesucian. Tapi tidak manusianya. Padanya melekat kemungkinan untuk bertindak sebaliknya. Pada manusia melekat luapan api. Emosi negatif. Kadang berbentuk sikap egois dan narsistik, dibumbui kebencian sekaligus hasrat agresi. Munculnya mengerikan: persekusi dan ujaran kebencian pada liyan.   

Agama mengajarkan berbagai kemuliaan. Manusia sebaliknya, dia bisa lebih bengis dari hewan. Dan itu memang mungkin terjadi. Dengan agama manusia bisa menjadi ‘sebaik-baik ciptaan’. Tetapi dengan memberhalakan simbol-simbol agama, manusia bisa menjadi sebaliknya. Apalagi jika simbol-simbol agama menjadi tameng atas hasrat kehewanan manusia. Kita akan jatuh serendah-rendahnya.

Belakangan, hasrat kehewanan dan hasrat kapitalistik saling menyatu. Saat sebagian besar manusia telah dikuasai emosi negatif, maka pasar baru telah tercipta. Hasrat kehewanan dan emosi negatif direproduksi, didistribusikan dan mendapatkan nilai ekonominya.

Terciptalah industri yang memproduksi dan sekaligus mendistribusikan ekspresi hasrat kehewanan dan emosi negatif. Buzzer yang terus menyebarkan kebencian. Forum-forum ajang menebar ancaman, caci maki dan bahkan ajakan kekerasan tumbuh. Bisa jadi forum ini berbungkus simbol-simbol agama. Labelnya bisa jadi acara keagamaan. Tapi isinya sumpah serapah, kebencian dan caci maki terhadap pihak lain.

Dana sosial dimobilisasi. Bisa dengan berbagai tagar #SaveIni #SaveItu. Bisa dengan berbagai investasi yang berlabel ‘religius’. Berbagai forum digelar. Para buzzer bergerak melalui media sosial. Ujungnya sama: akumulasi modal, keuntungan ekonomi. Jika bisa lebih dari itu, akumulasi politik alias kekuasaan dan pengaruh. Industri ini membuat ujaran kebencian, persekusi, caci maki dan ancaman terhadap liyan seperti spiral. Terulang, terus terulang, kemarin, kini dan esok. Lelah.

Industri kebencian ini makin canggih. Mereka merambah berbagai plaform digital. Saat masyarakat tak bisa lepas dengan gadget. Industri kebencian dengan mudah menjangkau masyarakat secara personal. Dapat diduga, banyak individu yang terpapar dengan mudah.

 

Literasi Digital

Dalam belantara, literasi digital menjadi tameng penting bagi individu. Sejak awal, anak-anak perlu belajar tentang etika menggunakan gadget dan media sosial. Kita tak boleh membiarkan anak-anak bermain gadget, tanpa etika. Tanpa strategi. Mereka hidup dalam masyarakat yang terkoneksi dengan gadget dan media sosial.

Masyarakat sejak awal tidak boleh dibiarkan menjadi konsumen pasif industri kebencian. Yang setiap hari mengkonsumsi konten penuh kebencian, permusuhan dan penuh hasutan. Kita tak boleh membiarkan mereka terpapar industri kebencian melalui website berbahaya, akun buzzer yang memproduksi kebohongan, bahaya konten hoax dan adu domba. Masyarakat perlu dikenalkan pada website, apps, grup dan materiak digital yang bermanfaat. Masyarakat mesti dikenalkan cara industri kebencian beroperasi. Belajar mengenali bagaimana jubah-jubah religi digunakan untuk menutup sikap buas dan penuh kebencian.  

Dan siapa yang harus memulainya. Sejak dini orang tua dan guru dapat melakukan pada anak dan muridnya. Para konseling pada kliennya. Para influencer pada pengikutnya.

*Murdianto An Nawie, Dosen Tetap Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo, menjadi Bagian   Jaringan Gusdurian