Islam Progresif-Transformatif; Mencari Landasan Pemberdayaan Ekonomi Umat

24 November 2021 09:05
Islam Progresif-Transformatif; Mencari Landasan Pemberdayaan Ekonomi Umat
Oleh Ahmad Syafi'i SJ

Limâdzâ taakhkhara al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum?

Li-anna a’mâlanâ a’maluhum wa a’mâlahum a’mâluna.

(Mengapa umat Islam terbelakang, sedangkan

non-muslim maju? (Jawabannya) sebab,

kita mempraktikkan ajaran mereka,

sedangkan mereka mempraktikkan

 (ajaran agama) kita).

[Amir Syakib Arslan]-

Meskipun relevansinya dalam konteks kekinian masih terbuka untuk diperdebatkan (debatable), paling tidak tesis di atas dapat dijadikan pelajaran (i’tibâr) bahwasanya memang masih terdapat gap antara ajaran Islam yang seharusnya (das sollen) dengan Islam yang senyatanya (das sein) dalam praktik dan amaliah umat. Kita dapat mempertanyakan misalnya realitas kebersihan lingkungan umat Islam secara umum, begitu juga dalam persoalan kesejahteraan ekonomi. Dimana kondisi umat Islam  masih sangat tertinggal dari bangsa yang lain. Kondisi demikian sangat mungkin disebabkan oleh pengamalan ajaran Islam yang kurang tepat. Pengamalan ajaran yang kurang tepat, boleh jadi berawal dari cara pembacaan dan pemaknaan atas ajaran agama yang kurang tepat pula.

Sebaliknya, ajaran Islam atau nilai-nilainya justeru sangat mungkin telah diadopsi dan dipraktikkan oleh bangsa lain yang oleh karenanya mereka menjadi maju dan kuat secara ekonomi. Dengan kata lain, bahwa praktik bangsa yang maju dan kuat secara ekonomi di dalamnya ternyata sejalan dengan spirit ajaran Islam, dan tentu minus akidah. Terkait dengan hal ini, testimoni Syaikh Muhammad ‘Abduh yang menyatakan bahwa “Saat pergi ke Eropa, aku melihat Islam di sana meskipun aku tidak menjumpai umat Islam”. Adapun di sini (di negara Arab dan  Islam), “sungguh aku mendapati umat Islam dan tidak menjumpai Islam” (hunâka raitu al-Islâm wa lam ara al-muslimîn. Ammâ hunâ fî bilâd al-‘Arab wa al-Islâm, faqad raitu al-muslimiîn wa lam ara al-Islâm), tampaknya menemukan momentum dan relevansinya.

Atas dasar realitas demikian, menjadi keniscayaan bagi kita untuk melakukan refleksi. Jika Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai ajaran agama yang sempurna, apakah mampu ajaran-ajaran Islam demikian memberi transformasi atas aktivitas umatnya menuju kondisi umat yang memiliki daya saing tinggi (high competitive advantage)? Sejauhmanakah umat Islam memebri persepsi ajaran Islam yang ideal secara baik dan benar sehingga mampu menginspirasi lahirnya gerakan progresif-transformatif bagi pemberdayaan ekonomi umat? Berikut berapa cara pandang yang dapat dipertimbangkan guna merespon realitas kehidupan umat Islam sebagaimana dimaksud.

Pertama, perlunya pembacaan ulang secara produktif (al-qirâ’ah al-muntijah) terhadap ajaran Islam, terutama konsep tasawuf, dengan pemaknaan yang aktif-progresif (ikhtiyârî). Bukan pemaknaan yang pasif-deterministik (jabarî). Konsepsi tentang takdir misalnya,  hendaknya dipersepsi ketika upaya (ikhtiyâr) sudah tidak berhasil, baru bersandar kepada Allah Swt (tawakkal). Manusia baru diperbolehkan tawakkal jika sudah ber-ikhtiyâr, sebagaimana  dinyatakan dalam hadis “i’qilhâ wa tawakkal (ikatlah untamu terlebih dahulu kemudian bertawakkallah!)”. Begitu juga dengan konsep zuhud. Di satu sisi, memang ada ulama yang memebrikan persepsi atas konsep zuhud dengan persepsi ekstrim. Zuhud adalah “meninggalkan dunia sepenuhnya” (tarku al-dunyâ kullihâ). Persepsi demikian tentu menjadi kontra-produktif dan penghambat bagi progresivitas kehidupan. Di sinilah urgensitas pembacaan produktif atas ajaran agama. Pada sisi yang lain, Abû Bakar dalam Kifâyah al-Atqiyâ’ mencoba mempersepsi konsep zuhud dengan persepsi yang lebih produktif dan progresif-transformatif, yaitu: “menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta dan bukan berarti tidak punya harta” (faqdu ‘alâqah al-qalbi bi al-mâl walaisa huwa faqdu al-mâl). Dengan pemaknaan semacam ini, manusia tidak dapat menyimpulkan, misalnya bahwa Nabi Sulaiman AS adalah sosok Nabi yang bukan zuhud lantaran beliau hidup dengan bergelimang harta. Sebaliknya, beliau justru dilabeli sebagai orang yang paling zuhud (azhad al-zâhidîn), karena beliau bisa melepaskan hati dan sikap batin dari belenggu kekayaan harta.

Al-maghfurlah Kiai Sahal Mahfudh, Rais ‘Ām PBNU tempo dulu. Beliau merupakan salah satu ulama nusantara yang mencoba memahami konsep tasawuf  dengan pemaknaan yang produktif. Dalam beberapa kesempatan, beliau seringkali menjelaskan posisi harta benda dan kekayaan dalam konteks zuhud melalui ucapannya “dunia itu hanya di tanganmu, bukan di hatimu” (al-dunyâ fî yadika wa lâ fî qalbika). Makna statemen Kiai Sahal demikian merujuk bahwa zuhud merupakan sikap menghilangkan ketergantungan hati kepada properti. Zuhud bukan berarti membenci harta benda yang pada gilirannya membuat para pengamalnya menjadi pasif karena meninggalkan kerja. Zuhud dalam kerangka sebagaimana dikonsepsikan Kiai Sahal berarti bermakna dinamis dan tetap mau bekerja keras untuk memperoleh nikmat dunia dengan tidak melupakan Tuhan. Para pelaku zuhud mencari harta benda dengan motivasi untuk kesempurnaan jiwanya bukan untuk kesempurnaan harta benda itu sendiri, sebagaimana mencari ilmu bukan untuk ilmu, tapi mencari ilmu untuk kemaslahatan personal dan sosial. Zuhud oleh karenanya, “meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah”; bukan “meninggalkan harta”. Dengan kata lain, bahwa zuhud adalah “menempatkan keduniaan bukan satu-satunya”. Orang kaya dapat pula memperoleh predikat zuhud asalkan cara memperoleh hartanya dengan cara halal dan penggunaannya dengan tujuan mulia, yakni untuk kemaslahatan umat dan kejayaan agama. Dengan cara perolehan dan pentasarufan demikian, maka harta kekayaan dapat menjadi amal atau investasi akhirat (mazra’ât al-akhîrah) dan tentunya berkonsekuensi pada pahala.

Kedua, umat Islam harus senantiasa menjadikan nilai-nilai ajaran Islam sebagai landasan, di samping ilmu dan budaya. Kalau di masa lalu, Islam telah mampu menjadi inspirasi, landasan, dan dasar sekaligus bertujuan untuk kemajuan dunia dan akhirat. Mengapa saat ini malah sebaliknya? guna memperbaiki hal demkkian, maka diperlukan kajian kritis. Kita yakin bahwa agama Islam bukan agama yang hanya dipenuhi oleh terminologi atau bahkan jargon keakhiratan, namun juga harus penuh dengan jargon keduniaan. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi umat, frase hasanah fi al-dunyâ harus dibaca dan dimaknai sebagai etos kerja yang tinggi dalam mewujudkan kehidupan ekonomi yang mandiri. Frase ‘amal shâlh harus pula dibaca dan dimaknai dengan mencakup etos kerja, prestasi, dan produktifitas yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Hisâb (perhitungan amal) di akhirat harus dimaknai dengan tanggung jawab secara ekonomi di dunia, bagaimana cara mengupayakan dan bagaimana pula cara tasarrufnya? Dengan kata lain, bahwa upaya pemberdayaan ekonomi umat perlu adanya sentuhan nilai-nilai agama, di samping juga ilmu dan budaya. Wallâhu ‘A’lam…!