Imru Al-Qays dan Sastra Arab Jahily

Istilah lain "Imru al-Qays" (501-544 M). Tokoh yang tidak asing di era Sastra Arab Jahily. Dilahirkan dari nasab yang mulia "Raja Hujur" bernisbat Al-Kindy, sebagian dari kekuasaan Republik Yaman.
Ia tidak bisa naik tahta dan disebut dengan "Raja Bayangan", artinya berwujud raja tapi tiada. Sebuah julukan negatif "laqab mazmum" menurut tradisi Timur Tengah.
Merupakan salah satu pengarang "Muallaqat", sebuah antologi bahasa dan sastra Arab pra-Islam. Lahir dengan kondisi bergelimang harta dan kemewahan dalam tradisi kerajaan. Ia sering lupa menjalani tugasnya sebagai pangeran. Suka berfoya-foya dan bermain cinta.
Melihat perilaku demikian, sang raja mulai jengah. Ia diusir dari istana Najed dan memulai pengembaraan ke seluruh jazirah Arab. Bergumul dengan masyarakat Badui dan berfoya-foya lagi.
Namun di tengah pengembaraannya, ia rajin menulis "al-adab al-'isyqy" atau sastra cinta dalam bentuk puisi, risalah hati. Menulis syair "tasbib atau ghazal". Sebuah syair bergenre "romance", bertema wanita, kekasih, cinta, rindu dan rayuan cinta sebagai bentuk pelampiasan suara hati dan ekspresi imajinasi.
Ia juga menulis qasidah mahabbah di beberapa lembaran bait. Proses ini mengantarkannya menjadi Al-Malik Al-Dhalil "Raja Segala Penyair".
Saat dinasti kerajaan Kindy mulai runtuh, ayahnya meninggal karena dibunuh kabilah Bani Asaf. Dipanggilnya untuk kembali ke Najed. Ia menolak. Rasa sakit hati itu masih melekat dan teringat saat raja dan keluarganya mengusirnya di masa kecil. Ditambah sebab kandas cintanya bersama kekasih "Unaizah".
Malam terus berlabuh. Hening disertai cahaya bintang yang terang serta pantulan sinar bulan yang cemerlang. Rasa galau kini dituangkan dalam syair berikut;
وليل كموج البحر مرج سدوله
علي بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت له لما تمطى بصلبه
وأردا أعجازا وناء بكلكل
ألا أيها اليل الطويل ألا أنجالى
بصبح وما الإصباح منك بأمثل
"Di kala malam gulita bagai badai lautan tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku).”
“Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya.”
“Hai malam yang panjang, adakah gerangan yang menghalangimu untuk berganti dengan pagi harinya? Ya, walaupun pagi hari itupun juga belum tentu sebaik kamu."
Namun, seiring berjalannya waktu, rasa sakit hati itu kian pupus. Ia kembali ke Najed untuk menuntut balas kematian ayahnya. Ia teringat kewajiban kepedulian anak terhadap orang tua.
Mengajak kabilah Arab yang masih memihak dengannya untuk berperang dengan kabilah Bani Asaf. Tetapi, langkah ini tidak berhasil. Ia terpaksa harus melarikan diri ke tanah Turki dan dikejar oleh musuh hingga harus terbunuh saat itu.
*Wahyu Hanafi, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab INSURI Ponorogo, Pegiat linguistik dan sastra Arab. Saat ini mengemban amanah sebagai ketua Redaksi Jurnal Scaffolding Fakultas Tarbiyah INSURI dan aktif menjadi pembicara di beberapa konferensi linguistik dan sastra Arab di tingkat nasional dan internasional